Tampilkan postingan dengan label Karya Terjemahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Karya Terjemahan. Tampilkan semua postingan
Pemberontakan Kapal Haji

Pemberontakan Kapal Haji

07.45.00 Add Comment

(Berikut ini adalah cuplikan satu bab novel terbaru Orhan Pamuk berjudul “Malam-Malam Wabah”, diterjemahkan dari bahasa Turki oleh tim kami, Bernando J. Sujibto).

Gubernur Sami Pasha berpikir keras tentang usaha pentingnya karantina kepada syekh Hamdullah. Pasha mengenal syekh itu segera setelah dia ditugaskan ke pulau itu lima tahun lalu. Waktu itu, dia tampil dengan perawakan seorang lelaki yang lemah lembut, sopan, dan penuh kasih sayang dengan minat yang kuat terhadap karya sastra. Mungkin pembawaanya masih begitu. Di tahun pertama, mereka pernah berbincang hal ihwal kehidupan, buku, dan spiritualitas. Meskipun bersahabat, langkah karantina kali ini tidak akan berjalan baik untuk persahabatan maupun negara, dan sialnya urusan bisnis akan berpindah ke ranah internasional.

Karena penulis utama dua surat kabar berbahasa Yunani Adekatos Arkadi masih berada dalam penjara bawah tanah, Gubenur Pasha memanggil editor utama Neo Agnos ke hadapannya agar menuliskan berita tentang upaya disinfektan terhadap pondokan syekh Hamdullah jika besok surat kabar itu terbit. "Tidak perlu berita lain untuk topik ini," pintanya. Dengan kebohongan yang tak perlu yang seolah-olah terjadi wabah kolera, sang gubernur berkata "baru keluar dari oven!" sembari menawarkan buah prem, kenari, dan kopi kepada jurnalis muda nasionalis Yunani ini, yang sebelumnya pernah dijebloskan ke penjara dan surat kabarnya dibredel berkali-kali. Tepat di pintu ketika hendak keluar, Pasha mengancamnya sembari tersenyum dan mengatakan bahwa tugas media adalah mendukung sultan dan negara, jangan berbuat ceroboh terhadap krisis dan bencana yang melanda hebat di mana Istanbul dan dunia sangat peka terhadap masalah ini, jika tidak ingin kembali menanggung risiko.

Keesokan harinya, petugas juru tulis membawa koran Neo Agnos yang baru saja naik cetak. Petugas penerjemah dengan hati-hati membacakan berita kepada Pasha yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Turki dengan suara jelas.

Yang dikatakan Gubernur Pasha untuk “jangan ditulis!” dalam berita sepertinya tetap ditulis dengan sangat jelas, diumumkan ke seluruh pulau dan dunia bahwa tim disinfektan ditolak masuk di gerbang pondok Helveki. Di tengah berita yang tersebar, Pasha menginginkan rasa puas terhadap kabar ini terus diperluas. Gubernur ingin segera melihat bahwa berita ini telah membuat para ahli jimat, para petani yang taklid kepada syekh, para pemuda imigran Kreta yang pemarah, semua umat Muslim, dan bahkan yang paling tercerahkan sekalipun mencurigainya sebagai anti-gubernur dan melawan karantina.

Ada peristiwa sejarah yang berhubungan dengan Manolis, jurnalis yang menulis berita tersebut. Tiga atau empat tahun sebelumnya, jurnalis pemberani itu pernah melakukan peliputan tentang masalah-masalah pemerintah kota—tentang jalan-jalan yang rusak, dugaan-dugaan kasus penyuapan, pegawainya yang pemalas dan bodoh—untuk melemahkan posisi gubernur dan pemerintahan Usmani. Ketika Gubernur Pasha mengancam akan menutup surat kabar dan mengirimkan utusan agar mengatasi situasi, dengan sedikit bersabar tetapi tetap tidak mentolerir, jurnalis itu pun sedikit melunak. Berselang waktu kemudian, publikasi yang menuduh gubernur dan menyalahkan karantina dalam berita tentang "insiden kapal jamaah haji", yang kali ini membuatnya sangat gelisah, memaksa Manolis terjerembab ke penjara bawah tanah dengan alasan lain, tetapi setelah beberapa waktu tekanan dari Duta Besar Inggris dan Prancis dan juga karena telegram dari Istana Mabeyn membuatnya harus dibebaskan.

Sekarang hal ganjil berbau khianat yang membuat Pasha merasa sakit adalah bahwa setiap perjumpaannya dengan Manolis, yang sudah dikeluarkannya dari penjara, kedekatan khusus yang dibangunnya terasa sia-sia! Begitu mereka bertemu di Hotel Splendid, di antara kereta kuda dan para kuli, Pasha mengatakan kepada Manolis bahwa dia sudah menulis kontroversi dengan sangat baik di korannya, mengucapkan selamat kepadanya untuk sumber-sumber informasinya, dan sudah menyiapkan anggaran uang gubernur untuk penerbitan artikelnya di surat kabar berbahasa Turki Havadis-i Minger milik kantor gubernur, dan untuk dua artikel yang lain. Di lain waktu, ketika mereka bertemu di restoran Degustation, sang gubernur memperlakukan Manolis dengan baik di depan semua orang, mengajaknya duduk di sampingnya, memesan sup ikan belanak aroma bawang, dan mengabarkan kepada semua orang bahwa surat kabarnya paling dihormati di wilayah Levant.

Setelah semua kedekatan ini, Gubernur Pasha yakin bahwa permintaan kecil kepada Manolis agar tidak menuliskan berita tentang larangan akses tim disinfektan ke pondok syekh akan diterima. Bagi Pasha situasi ini mengindikasikan adanya kekuatan lain di waktu bersamaan, dan kekuatan ini membuat Manolis berpikir bahwa dirinya menuliskan semua berita ini dan tentu saja artikel-artikel yang lama. Kekuatan itu siapa? Pasha memutuskan untuk menjebloskan jurnalis provokator dan pemberani ke penjara bawah tanah, menggosok hidungnya sekali lagi di sel yang dingin dan lembab, dan sembari menekan mencari tahu siapa yang telah menulis berita tentang kapal-kapal jamaah haji. Polisi-polisi sipil yang dikerahkan untuk mencari Manolis akhirnya menemukannya ketika dia sedang membaca buku (Leviathan karya Thomas Hobbes) di sebuah taman rumah pamannya yang menjadi tempat persembunyiannya, bukan di rumah sendiri di daerah Kora, dengan kumpulan salinan surat kabar dari kantornya, dan lalu membawanya ke penjara bawah tanah. Pasha, yang hatinya melunak, akhirnya meminta agar penjara jurnalis di sel bagian barat, lebih aman dan jauh dari epidemi.

Sampai pada bagian ini, agar pemahaman terhadap cerita lebih baik, kami ingin mundur tiga tahun silam dan menceritakan tentang “Pemberontakan Kapal Haji" yang runyam secara politis dan masih sangat menyiksa secara personal. Beberapa sejarawan menyebut insiden itu sebagai "Pemberontak Jamaah Haji", dengan pesan tersirat bahwa orang-orang berhaji yang salah, padahal itu tidak benar.

Tahun 1890, salah satu langkah yang diambil oleh "Kekuatan Besar" untuk menghentikan wabah kolera yang menyebar ke seluruh dunia melalui Mekkah dan Madinah dari kapal-kapal jamaah haji dari India adalah dengan melakukan karantina sepuluh hari di setiap negara saat kapal-kapal tersebut kembali. Karena tidak mempercayai karantina yang diberlakukan oleh pemerintahan Usmani di Hijaz misalnya, Prancis memberlakan karantina terakhir bagi jamaah haji yang datang dari Hijaz dengan kapal Persepolis dari perusahaan Messagerie di wiliyah yang dikuasai Prancis di Aljazair sebelum mereka kembali ke daerah masing-masing.

Otoritas Usmani juga menerapkan langkah ini berdasar pada kelemahan dan ketidakbecusan Organisasi Karantina Hijaz di tahun-tahun pertama. Komite Karantina di Istanbul mewajibkan “karantina tambahan” bagi para jamaah haji yang dibawa oleh kapal di setiap sudut daerah kekaisaran—tak peduli ada atau tidak ada bendera kuning atau penumpang sakit.

Karena harus menunggu sepuluh hari di karantina di daerah mereka masing-masing, setelah melakukan perjalanan panjang yang frustrasi dan mengakibatkan kematian banyak orang (seperlima jamaah haji dari Bombay dan Karachi tewas selama perjalanan ini), mereka berdemonstrasi besar-besaran. Dalam situasi tersebut, para prajurit juga dipanggil, dan tenaga medis meminta bantuan polisi dan pasukan keamanan di banyak tempat. Karena tempat-tempat karantina di pulau-pulau kecil dan di pelabuhan terpencil tidak memadai seperti terjadi di Minger, atau rumah-rumah tua para petani yang berhaji tidak cukup untuk menampungnya, mereka menyewa secara serampangan dan menggunakan kapal-kapal murah, tongkang dan barang-barang rongsokan. Sebagian kapal tersebut ditarik ke teluk yang terpencil, atau berlabuh di daerah kosong seperti Chios, Kusadasi dan Thessaloniki, dan tenda-tenda darurat milik militer dibangun di sekitar mereka. Selama sepuluh hari, para petugas kesehatan berusaha mengumpulkan makanan, minuman dan membersihkannya untuk para jamaah haji yang berada dalam karantina.

Para jamaah yang ingin kembali ke rumah masing-masing sangat menentang karantina. Mereka yang dalam perjalanan tidak mengalami gangguan sakit ikut terkapar sekarat dalam sepuluh hari terakhir. Percekcokan dan pertengkaran jamaah haji melawan para dokter dari kekaisaran Usmani yang kebanyakan orang Yunani, Armenia, dan Yahudi tak terhindarkan. Adanya pajak karantina di tengah karantina paksa tersebut membuat mereka naik pitam. Beberapa jamaah kaya dan banyak akal bulus menyogok para dokter agar bisa terbebas dari karantina sejak awal, dan bagi yang lain menunggu dalam kesabaran.

Ketidakbecusan penanganan di pulau Minger menciptakan peristiwa serupa yang paling mengerikan di negara Usmani. Kapal bernama Persia berbendera Inggris dari Mekkah dilarang masuk ke pelabuhan pusat kota, seperti sudah diperintahkan oleh telegram yang dikirim dari Istanbul, dan empat puluh tujuh jamaah haji dibawa ke sebuah kapal barkas rusak yang ditemukan oleh Manajer Karantina Nikos, dan kapal bekas itu kemudian ditarik berlabuh di salah satu teluk kecil di utara pulau Minger. Dikelilingi oleh pegunungan berbatu dan tebing yang tak tertembus, teluk terpencil ini cocok untuk karantina karena berfungsi sebagai penjara alami bagi para jamaah. Tetapi gunung dan tebing-tebing itu menyulitkan pasokan pengirim makanan, air bersih, dan obat-obatan untuk mereka.

Pendirian tenda di pantai untuk mengontrol para jamaah haji, tempat penampungan dokter, tentara, dan peralatan kesehatan lainnya tertunda karena badai. Dalam badai lima hari itu, para jamaah haji di Minger terombang-ambing karena ombak, menderita tanpa makanan dan minuman, dan terik matahari memanggang punggung mereka. Ini pengalaman pertama mereka bepergian ke luar pulau dalam sejarah hidupnya. Ada jamaah paruh baya berjanggut di antara kerumunan jamaah haji yang bekerja sebagai pekebun zaitun dan petani-petani kecil itu. Di antara mereka ada juga anak-anak muda religius berjanggut yang membantu bapak dan kakeknya.

Lima hari kemudian, ketika wabah kolera makin merebak di tongkang pengap itu, satu dan dua jamaah yang sudah kelelahan mulai tewas setiap hari. Jumlah korban meningkat setiap hari. Para jamaah haji tua dan alim terus bersabar meskipun para petugas dan dokter yang membawanya ke kapal bekas yang kotor dan menjadi sumber penyakit itu tidak muncul lagi. Dua dokter Yunani, yang datang ke karantina dengan menunggang kuda selama tiga hari, lalu memakai perahu dayung dan pelan-pelan menaiki kapal yang penuh penyakit untuk memeriksa mereka yang telah frustasi dan marah. Beberapa jamaah tidak bisa memahami mengapa mereka ditahan di sini, tetapi mereka mulai merasakan kondisi yang semakin tragis. Sebagian jamaah haji tua yang hampir mati, dengan pandangan mata yang aneh, tidak ingin dokter Kristen itu menyuntikkan cairan obat kepada dirinya. Sementara dua alat penyemprot disinfektan yang dibawa melintasi gunung dengan menunggang kuda sudah rusak pada hari pertama. Sisa tenaga mereka dihabiskan bertengkar melawan sebagian jamaah yang mengatakan mayat-mayat akan dilempar dari kapal, dengan bersikeras “mereka mati syahid, kerabat kami, dan kami akan menguburkannya di desa.”

Pemberontakan pun terjadi di atas kapal itu pada akhir minggu pertama di tengah epidemi yang sudah tidak dapat dikendalikan dan selain itu karena penguburan mayat-mayat berbau busuk terbengkalai dan terus bertambah setiap harinya.

Para jamaah haji yang marah pertama-tama menyerang dua prajurit Muslim dari Trabzon dan melemparkannya ke laut. Karena sebagian besar jamaah (faktanya, mayoritas penduduk di bawah kekaisaran adalah Muslim) yang tidak bisa berenang mati tenggelam, sang Gubernur Pasha munghukum Komandan Garnisun secara berlebihan.

Sementara itu, para jamaah haji yang muda berlayar dengan sisa rongsokan kapal, tetapi kapal ringkih itu akan menerobos bebatuan, bergoyang ke kiri dan kanan seperti mabuk laut di alam terbuka untuk sementara waktu, dan setengah hari kemudian mereka terdampar di teluk lain, sebuah tempat agak ke barat.

Dengan menuruni batu-batu, para jamaah yang sudah kelelahan tidak bisa dengan mudah keluar menuju desa karena mereka harus mengambil air yang dipakai untuk menyeimbangkan berat barang-barang yang dibawanya. Jika terus begitu, pemberontakan mungkin bisa dilupakan meskipun itu sudah menelan nyawa. Ketika bergerak, para jamaah haji terjebak dalam perahu dengan mayat-mayat yang semakin membusuk, sembari berjuang melawan gelombang, menjaga keseimbangan, dan mereka juga tidak bisa memindahkan botol-botol air zamzam yang sudah terkontaminasi kolera.

Beberapa saat kemudian, pasukan keamanan yang mengawasi kapal mereka sudah mengambil posisi di belakang bebatuan dan di atas tebing. Para komandannya memperingatkan mereka untuk menyerah, mematuhi aturan karantina, meninggalkan kapal, dan tidak mendarat. Para jamaah haji kalang kabut dan sporadis: Mereka sudah paham akan dikarantina lagi dan mereka akan mati kali ini. Bagi para jamaah, karantina yang ditemukan di Barat adalah bentuk kelicikan umat Kristen untuk menghukum dan membunuh para jamaah haji yang sehat dan lalu menggasak uangnya.

Suatu pagi, ketika sejumlah jamaah mulai menaiki bebatuan dan kabur melewati jalan-jalan pintas, kedua pasukan mulai menghujani tembakan. Anggota prajurit yang lain ikut memberondongnya untuk menutup jalan kabur. Mereka bersemangat seperti ketika mengusir gerombolan musuh yang menyerang Minger. Butuh delapan hingga sepuluh menit untuk membungkamnya. Banyak para jamaah haji yang tewas tertembak.

Gubernur Sami Pasha melarang publikasi berita tentang kejadian ini; berapa banyak jamaah haji yang ditembak atau mereka yang menyerah dan kembali dikarantina, sampai hari ini—seratus dua puluh tahun kemudian (beberapa dari mereka yang benar-benar meninggal karena kolera di karantina kedua); dan berapa banyak dari mereka akhirnya kembali ke desa-desa dalam kondisi sakit, dan tidak ada pula keterangan di balik sejarah yang mengerikan ini ke seluruh pulau. Tetapi dari data-data periodik dan telegram yang dikirim ke Istanbul, ke Istana Mabeyn atau langsung ke Sultan Abdülhamit, tampaknya peristiwa itu merupakan sumber penting dari perkembangan selanjutnya. Gubernur Pasha tidak pernah berhasil dikritik, disalahkan, atau dianggap melakukan kejahatan sebagai tanggung jawabnya dalam peristiwa bersejarah ini. Dia menunggu hukuman dari sultan, tetapi tidak pernah terjadi. Ketika dihadapkan dengan beragam kritik, Pasha mengatakan bahwa keputusan mengirim tentara ke karantina jamaah haji demi melindungi pulau dari wabah kolera sudah tepat, dia juga menambahkan bahwa kejadian itu tidak akan seturut hati nurani dengan membiarkan bandit membunuh prajurit dan menculik kapal negara (faktanya kapal itu disewa), tetapi dia juga menjelaskan bahwa dirinya tidak memberikan perintah menembak para jamaah, dan kejadian itu semata karena kesalahan prajurit.

Mengenai kejadian ini, Pasha sudah memutuskan bahwa pertahanan terbaik adalah melupakannya. Untuk itu, dia memberikan perhatian khusus agar tidak ada surat kabar yang menurunkan berita dan itu berhasil dalam beberapa saat. Pada tahun pertama sang gubernur menuturkan bahwa mereka yang meninggal dalam perjalanan haji secara resmi disebut "syahid" sebagaimana dijelaskan dalam agama kita—ditempatkan dalam posisi tertinggi. Ketika keluarga korban jamaah haji mendatangi pusat kota untuk menuntut kompensasi, Pasha menjamu mereka di kantornya sembari membuka percakapan bahwa “para syahid mempunyai tempat yang indah di surga,” dan menambahkan “bahwa mereka yang menuntut kompensasi akan dikabulkan dengan segenap usaha, tetapi tolong jangan berbicara kepada wartawan Yunani”. Ini adalah pertama kali sang gubernur efektif menerapkan kompensasi yang diberikan oleh negara.

Mungkin tragedi itu sudah dilupakannya sehingga dalam sebuah wawancara yang disampaikan kepada surat kabar Yunani Neo Agnos dengan menggunakan ungkapan "para jamaah haji yang miskin" ketika menanggapi tentang para jamaah haji yang telah membangun fasilitas sumber air di desa mereka. Kata-kata tersebut tidak dipedulikan oleh siapa pun. Namun, di surat kabar Neo Agnos yang terbit hari itu, Manolis menulis dengan kembali membuka polemik bahwa para jamaah haji tidak miskin, tetapi sebaliknya, mereka adalah umat Muslim kaya di pulau yang dengan cara baru menjual hartanya untuk pergi haji, dan banyak dari mereka menderita sakit dan meninggal di tengah perjalanan. Tetapi bukankah akan lebih baik jika penduduk desa Muslim yang kaya berkumpul di pulau Minger di mana tingkat pendidikan mereka jauh lebih rendah daripada kaum Ortodoks, daripada terburu-buru menghamburkan uang di kapal-kapal Inggris dan di gurun nun jauh di sana, atau paling tidak memperbaiki menara-menara masjid yang rusak di lingkungan mereka?

Sebenarnya, mementingkan sekolah daripada masjid merupakan sikap "modern" yang dipercayai sang gubernur, tetapi ketika membaca artikel itu, dia merasa seperti mau tenggelam dalam kemarahan. Manolis juga gelisah hal ihwal sikapnya terhadap umat Muslim, tetapi alasan utamanya adalah membuka dan menghangatkan kembali topik "Pemberontakan Kapal Haji " yang sudah diharapkan terlupakan oleh gubernur.

Setelah kemunculan artikel pertama di atas, gubernur mulai memata-matai gerak-gerik jurnalis. Selesai membaca berita "tim disinfektan tidak dapat memasuki pondok", Pasha memanggil dua mata-mata terakhir yang sedang bertugas (satu penjual roti, dan yang lain adalah pedagang yang hilir mudik dengan pakaian bekas) dan mati-matian mencari informasi kepada orang-orang goblok ini tentang siapa yang menulis artikel untuk Manolis, setelah dia dijebloskan ke penjara, sehingga membuat gubernur kehilangan waktu untuk mengurus karantina. Apa yang dipelajari dari mata-mata itu membuat gubernur semakin khawatir: Ya, seluruh pulau sudah mendengar kabar tentang tim disinfektan yang ditolak syekh Hamdullah dan itu telah menjadi desas-desus yang meluas.

"Kenapa mereka tidak menguasai pondok?" tanya Pasha pada kedua mata-mata itu. Pertanyaan ini sudah ditanyakan kepada seorang penari yang mengobrol dengan Madam Marika, tetapi mata-mata si penjual roti itu tidak mengerti. "Saya tidak paham sama sekali, Yang Mulia Pasha!" jawabnya.

"Karena syekh Hamdullah juga wabah," celetuk mata-mata berpakaian bekas.

"Apa?" tanya Gubernur Pasha.

Metehan Türk, dari Kampus ke Kampus

12.47.00 Add Comment

“Saya tidak pernah melakukan latihan soal. Saya lulus ujian pegawai negeri pada percobaan saya kedua”

[Metehan Turk, Anadolu Ajansi]
Sejak tamat SMA tahun 1997, Metehan Türk hampir selalu mengikuti ujian seleksi penerimaan mahasiswa baru setiap tahunnya. Ia berhasil lulus seleksi untuk hingga kuliah di empat universitas.

Metehan Türk yang bekerja sebagai pegawai negeri di kantor pos pemerintah Turki (PTT) menuturkan, sejak ia lulus dari SMA Suşehri di kota Sivas, pada tahun pertama ia tidak lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru. Kemudian pada tahun selanjutnya ia berhasil lulus seleksi pada jurusan manajemen di Universitas Uludağ, Bursa. Karena tidak begitu suka dengan jurusannya, Türk akhirnya  menyelesaikan kuliah dalam waktu 7 tahun.

 “Walau saya sudah kuliah saya tetap melanjutkan mengikuti ujian-ujian. Saya meraih nilai yang tinggi. Saya tidak senang dengan jurusan saya. Dalam hati, saya ingin untuk kuliah pada jurusan yang berbeda. Pada tahun 2010 saya mendapat beasiswa penuh untuk belajar di Universitas Istanbul Aydın, pada jurusan Radio,TV dan Perfilman. Saya kuliah di sana 4 tahun namun saya tidak bisa menyelesaikan kuliah saya. Pada tahun selanjutnya saya lulus ujian dan mendapat beasiswa penuh di Universitas Yeni Yüzyıl jurusan Radio, TV dan Perfilman. Saya di sana mahasiswa tahun ke empat. Tahun ini saya ingin mencoba peruntungan. Saya masuk ujian dan mendapat nilai yang bagus. Saya terpilih ke dalam 18 ribu  orang di antara 2 juta orang. Sekarang saya belajar di Universitas Cerrahpaşa jurusan Keguruan  Sosial. Setelah ini , saya ingin  bekerja sebagai pengajar. Saya memiliki anak perempuan bernama Ayşegül , ia berusia 2,5 tahun. Saya ingin belajar bersama dia nantinya”, tutur Türk menceritakan pengalamannya.

Türk menerangkan bahwa dirinya mengikuti ujian tanpa persiapan dan tanpa belajar. “Saya tidak pernah melakukan latihan soal. Saya lulus ujian pegawai negeri pada percobaan saya kedua”, terang dia.

Türk mengatakan banyak manfaat yang ia dapat dari membaca buku dan jalan-jalan. Sampai sekarang Türk telah mengikuti lomba cerdas cermat program televisi ke 14 kali. Ia yakin membaca buku dan jalan-jalan yang membuat  nilai yang baik saat ia ujian. Türk mengatakan tidak bisa melupakan guru sekolah dasarnya—Güler Çakıcı—yang membuat ia cinta belajar dan membaca.

Türk berpesan kepada para remaja untuk membuat perencanaan yang baik. “Jangan sampai menyesal ketika memilih jurusan nanti”, tutupnya.

(Diterjemahkan dari Anadolu Ajansi oleh Hari Pebriantok)

Pantomim

14.28.00 Add Comment

Kebenaran seperti kematian

[Foto dari internet]
Di Haseki ada sebuah rumah dengan tiga kamar di ujung jalan buntu, seperti sebuah kuburan, dihantui kesunyian yang panjang. Tempat itu terletak di tengah-tengah barang-barang bekas yang terlupakan dan terbengkalai. Balok kayu yang jatuh dari atap, batu ubin yang retak dan berlepasan dari lantai dan batu-batu lain yang menempel di dinding-dinding bertahun-tahun rontok teronggok di tempat yang sama. Kadang kala seorang perempuan tua Yunani yang jelek—dengan menampakkan kemampuan khusus seperti seorang penyihir yang mandraguna—mengambil dan menjual barang-barang yang dibutuhkan di rumah itu dan dengan cepat kilat menghilang kembali ke rumahnya. Sebuah pohon besar di dekat dinding pada kebun kecil rumah itu, saat terik matahari bulan Juli mencampakkan Istanbul dalam belaian udara panas, angin sejuk yang tersembunyi antara dedaunan di rumah itu mulai memancarkan udara seperti kipas angin hijau besar di lingkungan itu.

Hari Jumat musim panas, sekira siang hari, dari rumah itu ada seorang lelaki bangkit dari kursi dan keluar dengan sebuah bundelan, mendorong dan menutup pintu kembali dengan awas dan beranjak pergi. Dilihat dari belakang orang ini seperti berusia 33 tahun dengan punggungnya yang tampak gemuk dan lebar, tapi pada kakinya yang mungil terlihat ada beban yang hendak dibawa ke sebuah tempat sehingga membuatnya begitu susah bergerak. Seonggok tubuh yang menyusuri jalan-jalan panjang nan sepi di kawasan dengan wajah muram dan penuh pikiran itu datang untuk menghibur raykat jelata. Ia datang ke depan sebuah rumah yang di sekitarnya ditopang dengan kayu-kayu sebagai penyanggah. Di atas pintu rumah itu ada kertas besar tertulis:

"Pantomim Paskal yang Terkenal. Di sini setiap hari Jumat dan Minggu Paskal yang terkenal dengan humor yang jenaka akan tampil, Paskal yang telah berhasil merebut hati penonton setiap minggu akan menyuguhkan permainan-permainan baru ke atas panggung!"

Paskal seorang diri. Setelah memasuki panggung, membuka bundelan, memakai kerucut berwarna putih yang tak pernah diganti dan mengolesi wajah bagian bawah mata hitam dengan warna merah—di antara pikiran-pikiran kosong yang menyeruak tanpa jiwa itu—Paskal menyuguhkan pertunjukan yang dilumuri gelak tawa dan sorak sorai.

Dalam pemintasan itu, Paskal yang tengah berperan sebagai seorang gadis kasmaran mengundang tawa ketika dirinya mengemis-ngemis di lantai untuk menunjukkan kesukaan dan menghadirkan bahasa cinta demi merebut hati kekasihnya. Seorang penonton dengan sebatang rokok di mulutnya menghentikan pertunjukan, sembari bersandar pada galah sisi belakang panggung dan memegang kain yang menutupi kepalanya:

"Apakah suara Paskal tidak bisa nyaring? Orang-orang tertawa terpincut karenanya!” ujarnya.

Sebagian besar orang yang duduk di kursi-kursi kecil di sekitar tempat itu menyetujui permintaan orang tadi. Pada sebuah ungkak di sebelah tempat pertunjukan, seorang gadis muda dengan senyum kekanak-kanakan demi melerai luka-derita hidupnya bertepuk tangan sambil menyentuhkan kedua tangannya dengan begitu tulus, seperti burung-burung yang terbang mengepakkan sayap-sayapnya dengan kegembiraan yang utuh. Setiap minggu gadis berusia 20 tahun bernama Eftalya itu datang ke pertunjukan bersama seorang perempuan yang sudah renta.

“Anakku, kamu sangat menyukai pertunjukan ini?” tanyanya suatu waktu.

Eftalya menuturkan kepada perempuan tua itu tentang Paskal yang mengingatkan dirinya pada seekor anjing kesayangannya yang mati, juga pada seekor kera yang sangat disenangi dan pernah sekali dijumpainya.

Pada suatu hari, dengan kain putih dan senyuman magis di tengah-tengah keramaian, gadis muda itu melemparkan bunga dari ungkak tempatnya duduk ke arah pemain karena begitu menyukainya dan juga karena seperti sedang melihat binatang piaraan yang dicintainya. Ketika bunga-bunga yang dilempar itu menyentuh wajah dan dadanya, Paskal meraba jantungnya terasa menyakitkan seperti dihantam hewan pemangsa dari sebuah tempat yang jitu. Beberapa menit kemudian, dia terus menangis sembari duduk di atas tanah di dalam area pertunjukan, di antara gelak tawa orang-orang yang bergemuruh. Paskal yang malang ternyata menyukai Eftalya yang cantik itu. Sosok yang malang ini mencintai seorang perempuan yang sempurna!

Tetapi Paskal bahkan tidak berani mengatakan rasa cintanya di mana kondisi seperti ini sudah biasa ditanggungnya sejak kecil dan itu hanya mampu disimpannya di sudut paling rahasia hatinya, bahkan kepada pelayan tua di rumahnya sekalipun. Dalam hidupnya tidak ada seorang pun yang terlibat memberikan pandangan dalam urusan hubungan dengan perempuan yang disukainya. Semua yang membuatnya tertawa berasal dari darinya yang kesepian! Lihat, dalam keadaan kacau seperti ini pun, pada tintik air mata yang mengalir karena kesedıhan, semua orang masih tertawa terbahak-bahak.

Tengah malam seusai pertunjukan, Paskal menyusuri jalan pulang sembari membawa bundelan itu ke rumahnya. Setelah membuka pintu kamar dan setelah paham bahwa tak ada seorang pun di dalam rumah, tak ada pula yang datang dan ketika di jalanan sudah sepi, Paskal mulai memikirkan seorang gadis bernama Eftelya yang cantik itu.

Sebenarnya kenapa hari itu orang-orang tertawa begitu lepas kepada dirinya? Setelah mengeluarkan bunga dari pelukannya dan tidak ingin mencederainya sedikit pun, Paskal mencium bunga itu dengan rasa hormat lalu ditaruh di sebuah tempat paling tinggi di kamarnya. “Oh, bunga, oh bunga ini akan membunuhku,” racaunya.

Andai saja diizinkan oleh dirinya… kamar itu akan dihias dengan pot bunga, Eftelya yang cantik itu diminta duduk di pojok, permintaan cerita apapun yang paling aneh akan dipenuhinya, sepenuh malam akan membuatnya tertawa. Paskal lalu mengangkat kepalanya seolah terbangun dari tidur nyenyak penuh mimpi indah. Ah, selalu buruk, dunia sandiwara! Paskal pun mulai menangis…

Pada hari-hari terakhir, begitu cepat bulan datang dan pergi membawa berita berkabung. Pertunjukan itu dua minggu sudah tanpa Eftalya karena ia tengah melangsungkan pernikahan. Tepat pada hari Jumat setelah Paskal yang malang membuat Eftelya bersama suaminya yang datang ke pertunjukan terpingkal-pingkal, demi tidak merasakan kesedihan hatinya yang hancur lebur dia kembali ke rumahnya dengan kepala tertunduk, lalu menutup pintu dan terkubang di dalam kamarnya.

Beberapa hari kemudian, tepatnya setelah siang hari, ketika seorang Yunani tua itu tidak mendapatkan jawaban meski sudah menggedor-gedor pintu, dengan rasa takut ia memangil orang-orang di kawasan itu lalu mendobrak pintu dan masuk ke dalam rumah Paskal. Mereka yang masuk ke kamar itu pun sontak tertawa lepas: melihat Paskal yang seperti meniru seseorang yang sedang gantung diri, dengan bentuk dan desain talinya yang ajaib.

Seperti kehidupannya untuk menghibur orang-orang, pada hari kematiannya pun Paskal tidak membuat orang menangis, meski saat itu dia bukan sedang bersandiwara, kebenaran seperti kematian.

Diterjemahkan oleh Bernando J. Sujibto dari cerita berjudul Pandomima karya Sami Pasazade Sesai.

Misriani, Gelin Indonesia Pertama di Turki?

11.57.00 1 Comment

"Pertam kali, saya belalajar kata ‘Ben’ (saya), dan ‘Sen’ (kamu, anda). Saya berhasil menyesuaikan dan mempelajari dua kata ini."

[Ilustari. Foto: http://www.vogue.es/]
Sebagai negara yang memiliki sejarah dan peradaban besar, Turki selalu menjadi pilihan destinasi bagi para wisatawan. Salah satunya adalah para pelancong dari kawasan Asia, termasuk negara kita Indonesia. Seiring waktu, Turki bukan hanya dikenal sebagai tujuan wisata bagi Indonesia, tetapi menjadi salah satu negara yang cowok-cowoknya mulai digandrungi oleh sebagian gadis Indonesia. Di antara gadis-gadis yang dipersunting pria Turki, ada seorang ibu yang ditengarai sebagai perempuan pertama yang menikah dengan pria Turki. 

Pernyataan di atas tentu saja butuh diklarifikasi untuk memastikan data, tetapi berdasarkan kronik tahun, Ibu Misriani, wanita asal Banyuwangi, Jawa Timur, mungkin saja menjadi gelin (menentu perempuan) yang masuk generasi kids zaman old. Misriani pernah diwawancarai oleh salah satu media Turki Senoz Deresi tentang cerita hidupnya selama berada di Turki sejak tahun 1985. Berikut ini adalah terjemahan dari wawancaranya yang telah diterbitkan pada 16 Desember 2011.

Misriani lahir pada 22 Agustus 1968 di Banyuwangi adalah bungsu dari tiga bersaudara. İa menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian pada tahun 1985 ia tiba di Turki, saat itu usianya 17 tahun. Sebelumnya, Misriani bekerja di sebuah kapal dan bertemu dengan Ismail, pria berkewarganegaraan Turki yang berasal dari kota kecil Çayeli yang berada di Provinsi Rize—wılayah Laut Hıtam. Ringkas cerita, Ismail menikah dengan Misriani dan memulai kehidupan baru di Kota Çayeli. Sebagai seorang gelin—istilah yang digunakan untuk warga asing yang menikah dengan warga negara Turki, ia sudah lama sekali tidak mengunjungi İndonesia dan merasa sangat rindu dengan tana airnya. Meryem Şahin, jurnalis dari Senoz Deresi berjumpa langsung dengan Misriani dan berbincang tentang pengalamannya tinggal di Turki.

Meryem Şahin: Kita mulai dengan cerita tentang kedatangan anda dari Indonesia ke Çayeli. Bagaimana perjumpaan anda dengan suami?

Misriani: Nama suami saya, İsmail. Saat datang ke Indonesia, ia bermaksud untuk memulai bisnis. Di waktu itu, saya juga sedang mencari pekerjaan sebagai penerjemah. Dan awalnya, Ismail adalah teman dari paman saya. Sejak momen itu kami pertama kali bertemu satu sama lain.

Meryem Şahin: Bagaimana respon keluarga anda tentang pekerjaan tersebut? Karena untuk melepas seorang anak perempuan ke daerah yang jauh dari kampung halamannya bukanlah hal yang mudah. Apakah anda menikah dengan restu dari mereka?

Misriani: Sebenarnya saya tidak menyampaikan semua hal tentang ini (pekerjaan). Karena awalnya kakek saya berpikir tempat ini sangat jauh. Tetapi, akhirnya saya mendapatkan persetujuan tentang apa yang saya inginkan.

Meryem Şahin: Sepertinya itu adalah sebuah keputusan yang berani, penuh pertimbangan. Karena anda sama sekali tidak mengetahui bahasa dan budaya tempat yang anda kunjungi.

Misriani: Sebenarnya suami saya pernah berujar kepada saya bahwa kami akan tinggal di Indonesia,  begitu ujarnya. Ia mengatakan akan menata dan mengurus bisnisnya di sana (Indonesia). Saya pun menyetujuinya. Akan tetapi dalam waktu selanjutnya, hal tersebut tidak terjadi. Sampai dengan 15 hari setelah itu, kami memutuskan untuk ke Istanbul. Kemudian kami berangkat menuju ke Rize di kota Çayeli.

Meryem Şahin: Bagaimana pertama kali anda tiba di Turki? Apa saja pengalaman yang anda rasakan?

Misriani: Di Istanbul, saya pertama kali melihat secara langsung salju. Rasanya sangat aneh. Butuh  waktu bagi saya untuk menyesuaikannya. Kami berada di Istanbul selama dua hari. Setelah itu kami menuju ke kota Ankara, tepatnya ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk pengurusan izin tinggal di Turki. Akan tetapi, pihak KBRI tidak bisa memberikan izin tinggal kepada saya karena usia saya yang masih muda. “and tidak akan bisa mendapatkan izinnya”, dan menyampaikan bahwa saya akan dikembalikan ke Indonesia. Namun, saya tidak menolaknya.

Meryem Şahin: Bagaimana perasaan anda saat tiba di Rize? Bagaimana respon orang-orang di sana? Apakah ada kabar tentang kedatangan anda di Çayeli?

Mirsiani: Setelah tiba di Istanbul, suami saya, Ismail, mencari rumah. Setelah itu rampung, baru kami berkabar. Hari pertama tiba di Rize, saya menikmati sarapan (kahvaltı) khas Turki yang telah disiapkan. Akan tetapi, di kampung halaman saya di Indonesia, untuk sarapan kami biasanya mengonsumsi nasi dan lauk lainnya. Saat sarapan, bahkan saya tidak mengambil satu pun makanan. Dan itu sangat aneh bagi beberapa orang yang ada pada saat itu. “Hey, Ismail. Ia membawa beberapa buah biji kacang”. Dan dalam situasi tersebut, saya sama sekali tidak paham apa yang sedang dibicarakan. Hari pertama ke rumah (di Çayeli), “pengantin—orang asing, telah datang, begitu ujar beberapa orang”. Jalanan di sekitar tempat tinggal sangat ramai oleh warga yang datang. Mereka sangat penasaran dengan saya. Hari itu rasanya sangat berat dan tersulit yang pernah saya alami.

Meryem Şahin: Apakah anda melangsungkan pesta pernikahan?

Mirsiani: Tidak. Hanya menikah saja. Pesta pernikahan diselenggarakan ketika kembali lagi ke Turki. Di Indonesia, kami tidak bisa menikah secara resmi karena ada peraturan yang mengharuskan memiliki kartu identitas sebagai warga negara saat usia 18 tahun.  Saya membawa ijazah SMA ke sini (Turki). Saya mendapatkan passport dengan ijazah dan selanjutnya menikah. Namun, kami harus menunggu sampai satu tahun untuk pernikahannya.

Meryem Şahin: Ketika anda telah menjadi pengantin, apakah anda tinggal bersama kerabat anda?

Mirsiani: Iya. Kami sudah tujuh tahun tinggal bersama. Di Indonesia, kami memiliki keluarga besar. Dan ketika saya ke sini, saya merasa sangat kesepian. Pada enam bulan pertama, saya tinggal bersama suami, Ismail. Selanjutnya selama 13 bulan setelahnya Ia bekerja di kapal. Saya tidak akan pernah melupakan hari-hari saat tak bersamanya. Saya merasa seperti seorang anak yatim.

Meryem Şahin: Kapan persisnya anda memperoleh kewarganegaraan Turki?

Mirsiani: Dua tahun setelah saya di Turki.

Meryem Şahin: Berapa orang anda sekarang?

Mirsiani: Saya memiliki empat orang anak. Tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Anak laki-laki tertua namanya Bilal, kuliah di Yıldız Tehnical University jurusan teknik perkapalan. Ali dan Ahmet masih SMA. Dan yang terakhir, Meryem, masih kelas lima sekolah dasar (SD).

Meryem Şahin: Anda memiliki budaya dan jenis makanan yang sangat berbeda dengan Turki. Apakah sulit untuk beradaptasi dan menyesuaikannya?

Mirsiani: Di Indonesia kami lebih sering memasak nasi dan sayur. Ketika pertama kali tiba di sini, saya hanya memasak nasi dan mengambil beberapa sayur yang ada di kebun. Kemudian mengolahnya menjadi sayuran untuk dimakan.

Meryem Şahin: Apakah anda tahu cara memasak?

Mirsiani: Tidak. Semuanya saya pelajari di sini.

Meryem Şahin: Makanan apa yang pertama kali anda buat?

Mirsiani: Saya pertama kali belajar memasak dengan suami. Saat itu, ia memasak ‘mimci muhalama’ (makanan khas Rize). Pada hari selanjutnya, saya mencoba untuk membuat Mimci Muhalama. Hasilnya tidak terlalu bagus, namun suami memuji dan menyukai masakan saya. Hal itu membuat saya sangat bersemangat untuk terus belajar memasak. Dan saya mendapatkan dukungan dari suami.

Meryem Şahin: Apa hal tersulit yang anda jumpai di Rize?

Mirsiani: Di Indonesia, kami bercocok tanam padi dan jagung. Dan ketika saya di Rize, saya paham bagaimana caranya mengumpulkan daun Teh, bercocok tanam di kebun ataupun beternak sapi. Saya telah belajar dan mendapatkan Rahmat, petunjuk dari Allah SWT. Dan perlahan saya menyukai kegiatan bekebun.

Meryem Şahin: Apa hal teraneh yang anda jumpai di Rize?

Misriani: Di sini saya pertama kali menjumpai minuman yogurt yang dicampur dengan jeruk (orange). Di Indonesia, kami hana memproduksi susu sapi. Sebenarnya Yogurt adalah minuman yang sama sekali tidak saya ketahui. Butuh waktu untuk menyesuaikannya. Di sini, saya menjumpai rumah kayu yang sangat berbeda dengan tempat tinggal saya di Indonesia. Biasanya, kami hanya membuatnya dari Bambu. Inı disebabkan cuaca panas yang ada di Indonesia. Di sini, saya juga melihat cara orang berbicara dengan suara yang tinggi (kencang), itu juga yang sulit bagi saya. Kami terbiasa berbicara dengan suara yang lembut, tidak kencang. Saya terkejut dengan situasi yang saya hadapi ketika semua orang di sini berbicara sambil berteriak.

Meryem Şahin: Apa kata pertama yang anda pelajari?

Mirsiani: Pertam kali, saya belalajar kata ‘Ben’ (Saya), dan ‘Sen’ (Kamu, anda). Saya berhasil menyesuaikan dan mempelajari dua kata ini.

Meryem Şahin: Kapan anda belajar berbicara dengan bahasa Turki?

Mirsiani: Saya merampungkannya selama satu tahun. Saya tidak akan pernah melupakan Emine.Ia telah banyak mengajari bahasa Turki kepada saya. Dan saya berhutang budi kepadanya.

Meryem Şahin: Apakah anda masih bisa berbahasa Indonesia?

Misriani: Saya bisa katakan, saya telah lupa dengan bahasa ibu saya. Lebih banyak campur aduk dengan kata-kata dalam bahasa Turki. Mungkin karena sudah lama tidak mempraktikannya, akhirnya lupa.

Meryem Şahin: Apakah anda masih berkomunikasi dengan kerabat anda?

Misriani: kakek saya telah wafat. Saya mengetahuinya lewat surat yang disampaikan oleh paman dan bibi. Saya tidak tahu dimana kedua orangtua saya. Karena sejak kecil, saya juga tidak mengetahui keberadaannya. Di sini, saya menjumpai seseorang yang bekerja sebagai perawat. Namanya Faridah. Dan kami berjumpa di desa Yomra yang terletak di kota Trabzon.

Meryem Şahin: Apakah anda pernah berkunjung ke Indonesia lagi?

Misriani: Tidak. Saya tidak memiliki waktu untuk ke sana.

Meryem Şahin: Apakah anda ingin ke sana?

Misriani: saya ingin sekali ke Indonesia. Tetapi sangat tidak mungkin. Saya sangat rindu untuk berjumpa lagi dengan paman dan bibi. Juga melihat kebun dan tempat kelahiran saya.

Meryem Şahin: Jika dalam sebuah pertandingan antara Turki dengan Indonesia. Manakah yang akan menang?

Misriani: Tentu saja, Indonesia.

Catatan: Misriani tidak berkenan fotonya dipublikasi.

[Didid/Redaksi TS]



Istanbul

18.59.00 Add Comment
[Orhan Veli, Foto Oleh Ara Guler]
Duhai Istanbul, sungguh aku mendengarmu, mataku terpejam;
Pada mulanya, angin berhembus sepoi-sepoi
Perlahan-lahan membelai
Dedaunan, pada pohon-pohon;
Jauh, sungguh jauh di sana
Lonceng para penimba air tak henti-hentinya berdering;
Duhai Istanbul, sungguh aku mendengarmu, mataku terpejam.

Duhai Istanbul, sungguh aku mendengarmu, mataku terpejam;
Burung-burung lalu lalang dan terbang;
Bergerombolan, berkicau, dari ketinggian.
Sementara jaring-jaring jala ikan ditarik
Kaki-kaki si puteri jelita menyentuh riak air;
Duhai Istanbul, sungguh aku mendengarmu, mataku terpejam.

Duhai Istanbul, sungguh aku mendengarmu, mataku terpejam;
Pasar Kapalıçarşı yang sejuk tenteram
Pasar Mahmutpaşa yang berkicau meracau
Di halaman masjid, burung-burung merpati riang bercengkerama;
Ayunan martil menggedor bergema dari dermaga
Angin segar musim semi menebar bau peluh keringat;
Duhai Istanbul, sungguh aku mendengarmu, mataku terpejam.

Duhai Istanbul, sungguh aku mendengarmu, mataku terpejam;
Pesta pora masa lalu membuatku mabuk kepayang,
Sebuah rumah apung mewah di tepi selat meraba gelap;
Di tengah-tengah guncang deru angin selatan
Duhai Istanbul, sungguh aku mendengarmu, mataku terpejam.

Duhai Istanbul, sungguh aku mendengarmu, mataku terpejam;
Dari trotoar itu, seorang gadis cantik genit berlenggang;
Kutukan, lagu-lagu, gita rakyat, dan hinaan berdendang.
Dari gemulai tangannya jatuh ke tanah;
Kukira, itu setangkai mawar merah.
Duhai Istanbul, sungguh aku mendengarmu, mataku terpejam.

Duhai Istanbul, sungguh aku mendengarmu, mataku terpejam;
Seekor burung penggoda mengelilingi rokmu
Apakah sabit alismu manis?  Atau tidak? Aku sungguh mengerti;
Apakah lembut bibirmu basah? Atau tidak? Aku sungguh mengerti;
Sebuah rembulan perak bersinar dari balik pohon fıstık
Aku merasakan denyut nadimu, semua detak jantungmu;
Duhai Istanbul, sungguh aku mendengarmu, mataku terpejam
Orhan Veli, penyair modern Turki. Namanya diperhitungkan dalam sastra Turki sebagai salah satu penyair yang menyuntikkan nafas baru bagi sastra Turki, dengan gaya dominan surealis dalam sajak-sajaknya. Bersama dua karibnya Oktay Rifat dan Melih Cevdet, Veli memanifestokan salah satu gerakan sastra fenomenal bernama "Garip" (Aneh) pada tahun 1941. Sajak-sajaknya dimuat di majalah Varlik (Eksistensi), barometer media sastra paling penting sejak Republik Turki.

Terjemahan Zacky K. Umam
Terima kasih kepada Bernando J. Sujibto


Zacky K. Umam
Penulis dan peneliti untuk wacana keislaman dan sejarah intelektual Muslim. Kini menjadi mahasiswa PhD di Freie University, Berlin. Berkhidmad di PCI-NU Jerman. Pernah belajar di Istanbul (2012-2014).

Kuda dari Yenice

06.48.00 Add Comment
[Yilmaz Guney. Foto +Sinematurk]
Masa-masa kanakku, ibuku menyedihkan, dipenuhi dongeng rakyat dan khayalan-khayalan. Di Yecice, pada malam-malam musim dingin yang panjang ibu diundang oleh keluarga kaya untuk berkisah. Ibu mengajak aku dan adikku yang dua tahun lebih muda. Perempuan dan anak-anak memadati sebuah ruangan demi mendengarkan dongeng ibuku. Dia telah membuat semua orang menangis. Kami berdua juga ikut menangis. Ibuku bercerita tentang derita para pahlawan rakyat; menyentuh dan terenyuh....

Mereka lalu mengganjar kami buah kenari, buah berry kering dan pestil. Aku makan separuhnya, sisanya kubawa untuk saudara kandungku, Ismail. Ia adalah bocah kurus kerempeng. Giginya sangat gelap. Kami berusia delapan tahunan. Aku dan Ismail adalah dua kuda kecil dari Yenice, jantung sebuah dataran luas. Kami berdua menjadi kuda bagi anak-anak orang kaya. Tubuh kami dihiasi dengan tali kertas berwarna. Malam hari, sepulang dari sekolah aku dan Ismail kembali menjadi kuda, ditunggangi. Ketika anak-anak itu sudah lelah dan pulang ke rumah masing-masing, yang tersisa hanya tinggal kami berdua. Giliran aku menjadi kudanya, kemudian Ismail menjadi kudaku, bergantian. Malam hari kami selalu menjadi kuda di Yenice. Tubuh kami berdua seperti ranting yang tipis. Di antara kami, Ismail mengatasi semua kuda; selalu nomor satu. Suatu hari, karena aku menjadi kuda terakhir, ada seorang anak memukulku. Kejadian ini membuat Ismail sedih. Aku menangis sambari mengusap ingus. Anak-anak pergi meninggalkan kami. Kami berdua kesepian di tengah dingin malam, pada pangkal sebuah dinding. Mata Ismail menatap jauh, menunggu ketenangan.

“Aku tak akan menjadi kuda lagi,” ujarnya padaku.

Hanya sampai hari itu kami menjadi kuda bagi orang lain. Setelah itu tidak menjadi kuda lagi. Kami telah berpikir keras, membuat keputusan. Kami tidak akan menjadi kuda siapapun.

Namun akhirnya aku dan Ismail tidak bisa memegang janji kami sendiri. Mereka memukul kami…. Karena takut akhirnya kami kembali menjadi kuda mereka.

“Sekarang kami anak kecil,” ujar İsmail, “tapi suatu waktu kami akan besar, menjadi orang besar. Saat begitu kami tak akan menjadi kuda bagi siapapun.”

Ketika sudah besar kami tidak akan menjadi kuda lagi.

Satu tahun kemudian İsmail meninggal. Perutnya penuh air. Dengan gerobak sapi mereka membawa İsmail ke rumah sakit di Adana. Tapi nyawanya tak bisa ditolong. Gerobak sapi itu kemudian membawa mayatnya ke pemakaman kecil di desa kami, lobang makam ukuran kecil menyimpan tubuhnya. Ditancapkalah sebuah papan kayu tua tepat di kepalanya… setelah pemakaman helwa (penganan manis) dibagikan. Ibu Ismail terisak menangis. Aku pun menangis histeris. Dan aku berjanji padanya.

Ketika besar nanti aku tidak akan menjadi kuda bagi siapapun.

Perjuanganku bermula bersamaan dengan kematian Ismail. Jangan sampai anak-anak miskin menjadi kuda bagi siapapun. Dan Ismail, semua hidupnya yang terlindas--hidup atas nama anak-anak miskin--tumbuh dalam diriku.

Selimiye, 1973

Diterjemahkan oleh Bernando J. Sujibto dari cerita asli berjudul Yenice'nin Atları karya Yılmaz GÜNEY, penulis kelahiran Adana tahun 1937. Di bidang sastra Güney memang bukan sosok penting, tapi perjuangan awal bergulat dengan dunia sastra telah mengantarkannya menjadi salah satu sineas nomor satu di Turki. Film Umut, Yol dan Çirkin Kral jadi salah satu bukti kehebatan si sosok terlahir-keras-kepala ini. Kegemilangannya di dunia film tak senasib dengan jalan hidupnya yang harus bolak-balik penjara sebelum akhirnya tahun 1981 menjadi eksil dan meninggal di Prancis tiga tahun kemudian.


"Aku" Chairil Anwar dalam Bahasa Turki

06.40.00 1 Comment
Pada salah satu pusat dokumentasi naskah-naskah tua perpustakaan pemerintah Turki di Istanbul, ada dua buah sajak karya salah satu penyair terbaik yang pernah dilahirkan oleh Tanah Air kita Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Turki. Berikut adalah satu sajak berjudul Aku yang diterjemahkan oleh Engin Aşkın dimuat pada sebuah majalah seni Yedipede, salah satu media sastra yang berpengaruh pada dekade tahun 1960-1980-an dan pernah memuat puisi-puisi Orhan Pamuk. Setelah tahun 1984 Yedipede berhenti terbit. Terjemahan sajak Aku termuat dalam edisi tahun ke-22, Nomor 184 (380), Agustus 1971.
[Sajak Aku-nya Chairil Anwar. Foto +Bernando J. Sujibto]

BEN

Benim yaşadığım çağda
İsterim bütün hıçkırıklar kesilsin
Yaşlar kurusun senin gözlerinde de
Çekilsin görüntüden bütün ağlıyanlar

İşte dikildim önünüzde
Ben bildiğiniz başkaldıran yaratık
Ben dostlarının sırt çevirdiği

Varsın parçalasın gövdemi kurşunlar
Ben sarsılmadan yürürüm geleceğe

Acılar taşırım yaralı gövdemde
İleriye doğru ta ötelere
Durmadan çarpışmak kardeşler
Bir kez bile yılmadan
Kahır yokolana kadar

Artık dönülmez çizgideyim, bir bak
Yılgıyı aştığım bölümde
İçimde bir tutku belirir apansız
İsterim bin yıl daha yaşamak


****

AKU

Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang 'kan merayu 

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu!

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

****

BEN

(Terjemahan versi Zul Qarnain Abdullah, mahasiswa Sastra Inggris di
Istanbul Kultur Universitesi, Turki)

Benim zamanım gelince
Hiç kimse beni ayartıp övsün istemem
Senden bile

Üzülmem de

Sürüsünden ayrılmış
bir vahşi hayvanım

Geçsin kurşunlar tenimden
Koşmayı bırakmam, çarparım

Üstümdeki yarayla zehirle koşarım
Koşarım acılar bitip tükenene kadar

Daha da aldırmayacağım
Yaşamak isterim bin sene daha